BENDERA BINTANG KEJORA BENDERA NEGARA REPUBLIK PAPUA BARAT http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Morning_Star_flag.svg |
Organisasi Papua Merdeka (disingkat OPM) adalah sebuah organisasi yang didirikan tahun 1965 dengan tujuan membantu dan melaksanakan penggulingan[1] pemerintahan yang saat ini berdiri di provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia, sebelumnya bernama Irian Jaya,[2] memisahkan diri dari Indonesia, dan menolak pembangunan ekonomi dan modernitas.[3] Organisasi ini mendapatkan dana dari pemerintah Libya pimpinan Muammar Gaddafi dan pelatihan dari grup gerilya New People's Army beraliran Maois yang ditetapkan sebagai organisasi teroris asing oleh Departemen Keamanan Nasional Amerika Serikat.[3]
Organisasi ini dianggap tidak sah di Indonesia. Perjuangan meraih
kemerdekaan di tingkat provinsi dapat dituduh sebagai tindakan
pengkhianatan terhadap negara.[4] Sejak berdiri, OPM berusaha mengadakan dialog diplomatik, mengibarkan bendera Bintang Kejora, dan melancarkan aksi militan sebagai bagian dari konflik Papua. Para pendukungnya sering membawa-bawa bendera Bintang Kejora
dan simbol persatuan Papua lainnya, seperti lagu kebangsaan "Hai
Tanahku Papua" dan lambang nasional. Lambang nasional tersebut diadopsi
sejak tahun 1961 sampai pemerintahan Indonesia diaktifkan bulan Mei 1963
sesuai Perjanjian New York.
Sejarah
Selama Perang Dunia II, Hindia Belanda (kelak menjadi Indonesia) dipandu oleh Soekarno untuk menyuplai minyak demi upaya perang Jepang dan langsung menyatakan merdeka dengan nama Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Nugini Belanda (Nugini Barat) dan Australia yang menjalankan pemerintahan di teritori Papua dan Nugini Britania menolak penjajahan Jepang dan menjadi sekutu pasukan Amerika Serikat dan Australia sepanjang Perang Pasifik.
Hubungan Belanda dan Nugini Belanda sebelum perang berakhir dengan diangkatnya warga sipil Papua ke pemerintahan[5] sampai pemerintahan Indonesia diaktifkan tahun 1963. Meski sudah ada perjanjian antara Australia dan Belanda tahun 1957 bahwa teritori milik mereka lebih baik bersatu dan merdeka, ketiadaan pembangunan di teritori Australia dan kepentingan Amerika Serikat
membuat dua wilayah ini berpisah. OPM didirikan bulan Desember 1963
dengan pengumuman, "Kami tidak mau kehidupan modern! Kami menolak
pembangunan apapun: rombongan pemuka agama, lembaga kemanusiaan, dan
organisasi pemerintahan. Tinggalkan kami sendiri!"[3]
Nugini Belanda mengadakan pemilu pada Januari 1961 dan Dewan Nugini dilantik pada April 1961. Akan tetapi, di Washington, D.C., Penasihat Keamanan Nasional McGeorge Bundy melobi Presiden A.S. John F. Kennedy untuk menegosiasikan transfer pemerintahan Nugini Barat ke Indonesia.[6] Perjanjian New York dirancang oleh Robert Kennedy dan ditandatangani oleh Belanda, Indonesia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Agustus 1962.
Walaupun Belanda menuntut agar rakyat Nugini Barat boleh menentukan nasib sendiri sesuai piagam PBB dan Resolusi 1514 (XV) Majelis Umum PBB dengan nama "Act of Free Choice", Perjanjian New York memberikan jeda tujuh tahun dan menghapuskan wewenang PBB untuk mengawasi pelaksanaan Akta tersebut.[7] Kelompok separatis mengibarkan bendera
Bintang Kejora Papua Barat pada tanggal 1 Desember setiap tahunnya.
Tanggal tersebut mereka anggap sebagai hari kemerdekaan Papua.
Kepolisian Indonesia berspekulasi bahwa orang-orang yang melakukan
tindakan seperti ini bisa dijerat dengan tuduhan pengkhianatan yang
hukumannya berupa kurungan penjara selama 7 sampai 20 tahun di
Indonesia.[8]
Pada bulan Oktober 1968, Nicolaas Jouwe, anggota Dewan dan Komite Nasional
Nugini yang dipilih Dewan pada tahun 1962, melobi PBB dan mengklaim
30.000 tentara Indonesia dan ribuan PNS Indonesia menindas penduduk
Papua.[9] Menurut Duta Besar Amerika Serikat Francis Joseph Galbraith, Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik
juga meyakini bahwa militer Indonesia adalah penyebab munculnya masalah
di teritori ini dan jumlah personilnya harus dikurangi sampai
separuhnya. Galbraith menjelaskan bahwa OPM "mewakili orang-orang
sentimen yang anti-Indonesia" dan "kemungkinan 85-90 persen [penduduk
Papua] mendukung OPM atau setidaknya sangat tidak menyukai orang
Indonesia".[10]
Brigadir Jenderal Sarwo Edhie mengawasi perancangan dan pelaksanaan Act of Free Choice
pada 14 Juli sampai 2 Agustus 1969. Perwakilan PBB Oritiz Sanz tiba
pada 22 Agustus 1968 dan berulang-ulang meminta agar Brigjen Sarwo Edhie
mengizinkan sistem satu orang, satu suara
(proses yang dikenal dengan nama referendum atau plebisit), namun
permintaannya ditolak atas alasan bahwa aktivitas semacam itu tidak
tercantum dalam Perjanjian New York 1962.[11]
1.025 tetua adat Papua dipilih dan diberitahu mengenai prosedur yang
tercantum dalam Perjanjian New York. Hasilnya adalah kesepakatan
integrasi dengan Indonesia.
Deklarasi Republik Papua Barat
Menanggapi hal tersebut, Oom Nicolas Jouwe dan dua komandan OPM, Seth Jafeth Roemkorem dan Jacob Hendrik Prai, berencana mendeklarasikan kemerdekaan Papua pada tahun 1971. Tanggal 1 Juli 1971, Roemkorem dan Prai mendeklarasikan Republik Papua Barat dan segera merancang konstitusinya.
Konflik strategi antara Roemkorem dan Prai berujung pada perpecahan
OPM menjadi dua faksi: PEMKA yang dipimpin Prai dan TPN yang dipimpin
Roemkorem. Perpecahan ini sangat memengaruhi kemampuan OPM sebagai suatu
pasukan tempur yang terpusat.
Sejak 1976, para pejabat perusahaan pertambangan Freeport Indonesia
sering menerima surat dari OPM yang mengancam perusahaan dan meminta
bantuan dalam rencana pemberontakan musim semi. Perusahaan menolak
bekerja sama dengan OPM. Mulai 23 Juli sampai 7 September 1977, milisi
OPM melaksanakan ancaman mereka terhadap Freeport dan memotong jalur pipa slurry
dan bahan bakar, memutus kabel telepon dan listrik, membakar sebuah
gudang, dan meledakkan bom di sejumlah fasilitas perusahaan. Freeport
memperkirakan kerugiannya mencapai $123.871,23.[2]
Tahun 1982, Dewan Revolusi OPM (OPMRC) didirikan dan di bawah
kepemimpinan Moses Werror, OPMRC berusaha meraih kemerdekaan melalui
kampanye diplomasi internasional. OPMRC bertujuan mendapatkan pengakuan
internasional untuk kemerdekaan Papua Barat melalui forum-forum
internasional seperti PBB, Gerakan Non-Blok, Forum Pasifik Selatan, dan ASEAN.
Tahun 1984, OPM melancarkan serangan di Jayapura,
ibu kota provinsi dan kota yang didominasi orang Indonesia
non-Melanesia. Serangan ini langsung diredam militer Indonesia dengan
aksi kontra-pemberontakan yang lebih besar. Kegagalan ini menciptakan
eksodus pengungsi Papua yang diduga dibantu OPM ke kamp-kamp di Papua Nugini.
Tanggal 14 Februari 1986, Freeport Indonesia mendapatkan informasi
bahwa OPM kembali aktif di daerah mereka dan sejumlah karyawan Freeport
adalah anggota atau simpatisan OPM. Tanggal 18 Februari, sebuah surat
yang ditandatangani "Jenderal Pemberontak" memperingatkan bahwa "Pada
hari Rabu, 19 Februari, akan turun hujan di Tembagapura".
Sekitar pukul 22:00 WIT, sejumlah orang tak dikenal memotong jalur pipa
slurry dan bahan bakar dengan gergaji, sehingga "banyak slurry, bijih
tembaga, perak, emas, dan bahan bakar diesel yang terbuang." Selain itu,
mereka membakar pagar jalur pipa dan menembak polisi yang mencoba
mendekati lokasi kejadian. Tanggal 14 April 1986, milisi OPM kembali
memotong jalur pipa, memutus kabel listrik, merusak sistem sanitasi, dan
membakar ban. Kru teknisi diserang OPM saat mendekati lokasi kejadian,
sehingga Freeport terpaksa meminta bantuan polisi dan militer.[2]
Dalam insiden terpisah pada bulan Januari dan Agustus 1996, OPM
menawan sejumlah orang Eropa dan Indonesia; pertama dari grup peneliti,
kemudian dari kamp hutan. Dua sandera dari grup pertama dibunuh dan
sisanya dibebaskan.
Bulan Juli 1998, OPM mengibarkan bendera mereka di menara air kota Biak di pulau Biak. Mereka menetap di sana selama beberapa hari sebelum militer Indonesia membubarkan mereka. Filep Karma termasuk di antara orang-orang yang ditangkap.[12]
Tanggal 24 Oktober 2011, Dominggus Oktavianus Awes, kepala polisi
Mulia, ditembak oleh orang tak dikenal di Bandara Mulia, Puncak Jaya.
Kepolisian Indonesia menduga sang penembak adalah anggota OPM. Rangkaian
serangan terhadap polisi Indonesia memaksa mereka menerjunkan lebih
banyak personil di Papua.[13]
Pada tanggal 21 Januari 2012, orang-orang bersenjata yang diduga
anggota OPM menembak mati seorang warga sipil yang sedang menjaga
warung. Ia adalah transmigran asal Sumatera Barat.[14]
Tanggal 8 Januari 2012, OPM melancarkan serangan ke bus umum yang
mengakibatkan kematian 3 warga sipil dan 1 anggota TNI. 4 lainnya juga
cedera.[15]
Tanggal 31 Januari 2012, seorang anggota OPM tertangkap membawa 1
kilogram obat-obatan terlarang di perbatasan Indonesia-Papua Nugini.
Obat-obatan tersebut diduga akan dijual di Jayapura.[16]
Tanggal 8 April 2012, OPM menyerang sebuah pesawat sipil Trigana Air
setelah mendarat yang akan parkir di Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua.
Lima militan bersenjata OPM tiba-tiba melepaskan tembakan ke pesawat,
sehingga pesawat kehilangan kendali dan menabrak sebuah bangunan. Satu
orang tewas, yaitu Leiron Kogoya, seorang jurnalis Papua Pos yang
mengalami luka tembak di leher. Pilot Beby Astek dan Kopilot Willy
Resubun terluka akibat pecahan peluru. Yanti Korwa, seorang ibu rumah
tangga, terluka di lengan kanannya dan anaknya yang berusia 4 tahun,
Pako Korwa, terluka di tangan kirinya. Pasca-serangan, para militan
mundur ke hutan sekitar bandara. Semua korban adalah warga sipil.[17]
Tanggal 1 Juli 2012, patroli keamanan rutin yang diserang OPM
mengakibatkan seorang warga sipil tewas. Korban adalah presiden desa
setempat yang ditembak di bagian kepala dan perut. Seorang anggota TNI
terluka oleh pecahan kaca.[18]
Tanggal 9 Juli 2012, tiga orang diserang dan tewas di Paniai, Papua.
Salah satu korban adalah anggota TNI. Dua lainnya adalah warga sipil,
termasuk bocah berusia 8 tahun. Bocah tersebut ditemukan dengan luka
tusuk di bagian dada.[19]
Hari umum
- 1 Mei 1963 : Hari Aneksasi Papua (untuk Indonesia diperingati sebagai Hari Integrasi Papua)
- 1 Juli 1971 : Hari awal Kemerdekaan Papua
- 1 Desember 1961 : Hari Kemerdekaan Papua
Lihat pula
Catatan kaki
- ^ http://www.eco-action.org/opm/
- ^ a b c Bishop, R. Doak; Crawford, James and William Michael Reisman (2005). Foreign Investment Disputes: Cases, Materials, and Commentary. Wolters Kluwer. hlm. 609–611.
- ^ a b c "Free Papua Movement (OPM)". Global Terrorism Database. University of Maryland, College Park. Diakses 2011-04-10.
- ^ Lintner, Bertil (January 22, 2009). "Papuans Try to Keep Cause Alive". Jakarta Globe. Diakses 2009-02-09.
- ^ Report on Netherlands New Guinea for the year 1961 http://wpik.org/Src/un_report_1961.html
- ^ U.S. Dept. of State Foreign Relations, 1961-63, Vol XXIII, Southeast Asia http://wpik.org/Src/950306_FRUS_XXIII_1961-63.html#Indonesia
- ^ Text of New York Agreement
- ^ Protest and Punishment Political Prisoners in Papua, Report by Human Rights Watch
- ^ New York Times, Papuans at U.N. score Indonesia, Lobbyists asking nations to insure fair plebiscite
- ^ National Security Archive at George Washington University, Document 8
- ^ New York Times interview July 5, 1969, interview May 10, 1969
- ^ Richard Chauvel (6 April 2011). "Filep Karma and the fight for Papua’s future". http://inside.org.au/. Diakses 18 April 2011.
- ^ Bagus BT Saragih and Nethy Dharma Somba. "Police hunt for OPM rebels". The Jakarta Post. Diakses 2011-10-26.
- ^ (dalam bahasa Indonesian) http://www.antaranews.com/en/news/79364/opm-gunmen-kill-civilian-in-kurilik-papua. Missing or empty
|title=
(help) - ^ (dalam bahasa Indonesian) http://berita.liputan6.com/read/346831/anggota-tni-tewas-dalam-serangan-opm. Missing or empty
|title=
(help) - ^ (dalam bahasa Indonesian) http://www.suarapembaruan.com/home/anggota-opm-tertangkap-bawa-ganja-sekilo-di-perbatasan/16696. Missing or empty
|title=
(help) - ^ (dalam bahasa Indonesian) http://us.nasional.vivanews.com/news/read/302631-ditembaki-opm--pesawat-trigana-tabrak-rumah. Missing or empty
|title=
(help) - ^ (dalam bahasa Indonesian) http://m.griyawisata.com/kota/regional/artikel/patroli-yon-431-kostrad-dihadang-opm-satu-warga-sipil-tewas. Missing or empty
|title=
(help) - ^ (dalam bahasa Indonesian) http://news.detik.com/read/2012/07/09/184035/1961425/10/1-anggota-tni-2-sipil-tewas-dianiaya-di-papua-salah-satunya-bocah?nd992203605. Missing or empty
|title=
(help)
Referensi
- Bell, Ian; Herb Feith; and Ron Hatley (1986). The West Papuan challenge to Indonesian authority in Irian Jaya: old problems, new possibilities. Asian Survey 26(5):539-556.
- Bertrand, Jaques (1997). "Business as Usual" in Suharto's Indonesia. Asian Survey 37(6):441-452.
- Evans, Julian (1996). Last stand of the stone age. The Guardian Weekend. August 24:p. T20.
- Monbiot, George. Poisoned Arrows: An Investigative Journey to the Forbidden Territories of West Papua
- van der Kroef, Justus M (1968). West New Guinea: the uncertain future. Asian Survey 8(8):691-707.
Pranala luar
Kategori:
http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Papua_Merdeka
- Gerakan pembebasan nasional
- Politik di Indonesia
- Orde Baru (Indonesia)
- Era Reformasi (Indonesia)
- Nugini Barat
- Pendirian tahun 1965
- Militer ireguler
- Pemisahan wilayah di Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Papua_Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar